IDAI

IDAI Dorong Pendidikan Anak Pengungsi Tetap Berjalan Pascabencana Sumatra

IDAI Dorong Pendidikan Anak Pengungsi Tetap Berjalan Pascabencana Sumatra
IDAI Dorong Pendidikan Anak Pengungsi Tetap Berjalan Pascabencana Sumatra

JAKARTA - Pemulihan pascabencana tidak hanya berkaitan dengan pembangunan fisik dan pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi juga menyangkut keberlangsungan tumbuh kembang anak. Di sejumlah wilayah terdampak bencana di Sumatra, anak-anak masih menjalani aktivitas harian mereka di lokasi pengungsian. 

Kondisi ini memunculkan perhatian serius dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), yang menilai bahwa hak anak untuk mendapatkan pendidikan tetap harus dipenuhi meskipun berada dalam situasi darurat.

Ketua IDAI, Piprim Basarah Yanuarso, menegaskan bahwa proses belajar anak tidak boleh terhenti hanya karena keterbatasan tempat dan fasilitas. 

Menurutnya, jika proses pemulihan pascabencana berlangsung cukup lama, maka keberlanjutan pendidikan menjadi kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda. Pendidikan memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas psikologis anak sekaligus membantu mereka beradaptasi dengan situasi sulit yang dihadapi.

Pendidikan Anak Tidak Boleh Terhenti

Piprim menilai bahwa pendidikan anak seharusnya tetap berjalan dalam kondisi apa pun, termasuk saat anak berada di pengungsian. 

Ia menekankan bahwa konsep pendidikan tidak selalu harus terikat pada ruang kelas formal dengan gedung sekolah yang lengkap. Dalam kondisi darurat, tenda pengungsian pun dapat dimanfaatkan sebagai ruang belajar sementara.

“Pendidikan anak sebaiknya memang terus berlanjut. Pendidikan itu jangan hanya dipikirkan harus di gedung sekolah saja. Di tenda darurat pengungsian pun, pendidikan harus tetap bisa berjalan,” katanya.

Menurut Piprim, keberadaan sekolah darurat tidak hanya berfungsi sebagai sarana belajar akademik, tetapi juga sebagai ruang aman bagi anak. Aktivitas belajar dapat membantu anak mengalihkan perhatian dari situasi traumatis sekaligus menjaga rutinitas harian agar tetap terstruktur.

Sekolah Darurat sebagai Sarana Edukasi Kesehatan

Selain memastikan kelangsungan pendidikan, Piprim menilai sekolah darurat di pengungsian juga menjadi momentum penting untuk memberikan edukasi perilaku hidup bersih dan sehat. 

Anak-anak dapat diperkenalkan pada kebiasaan dasar yang sangat relevan dengan kondisi pengungsian, seperti mencuci tangan dengan benar, pencegahan penyakit diare, serta pemahaman mengenai pentingnya imunisasi.

Edukasi kesehatan ini dinilai krusial karena lingkungan pengungsian memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan kondisi normal. 

Dengan pendekatan yang tepat, anak dapat belajar menjaga kesehatan diri sendiri sekaligus memahami pentingnya kebersihan lingkungan.

Tidak hanya itu, sekolah darurat juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengenalkan pemilihan nutrisi yang baik serta keterampilan dasar untuk bertahan hidup. Materi-materi tersebut, menurut Piprim, dapat dikemas secara sederhana dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan, sehingga mudah dipahami oleh anak-anak.

Peran Relawan Pendidikan di Pengungsian

Piprim juga menyampaikan imbauan kepada para relawan yang bergerak di bidang pendidikan anak agar tetap menyelenggarakan kegiatan belajar bagi anak-anak pengungsi. Menurutnya, pendidikan tidak harus selalu berbentuk sekolah formal dengan kurikulum kaku. Yang terpenting adalah keberlanjutan proses belajar sesuai dengan situasi dan kebutuhan anak.

“Hal ini juga menjadi imbauan bagi para relawan yang bergerak di bidang pendidikan anak. Pendidikan bagi anak-anak pengungsi perlu tetap berlanjut, meskipun tidak diselenggarakan dalam bentuk sekolah formal,” jelasnya.

Pendekatan fleksibel ini diharapkan mampu menjangkau lebih banyak anak di pengungsian. Kegiatan belajar dapat dilakukan melalui permainan edukatif, cerita, diskusi ringan, atau aktivitas kreatif lainnya yang tetap mengandung unsur pembelajaran.

Pendekatan Psikologis untuk Anak Terdampak Bencana

Meski mendorong keberlanjutan pendidikan, Piprim menekankan bahwa penyelenggaraan sekolah darurat tetap harus memperhatikan kesiapan mental anak. Tidak sedikit anak yang mengalami trauma pascabencana, sehingga pendekatan pembelajaran perlu dilakukan dengan sangat hati-hati.

Dalam praktik pendampingan di lapangan, dokter anak dan relawan sering menggunakan pendekatan kreatif untuk membangun rasa aman. 

Beberapa di antaranya dengan mengajak anak bermain, membuat mainan sederhana dari kertas, atau mengenakan atribut lucu agar anak merasa lebih nyaman dan tidak tertekan.

Menurut Piprim, pendekatan tersebut dapat dikembangkan sesuai kebutuhan di lapangan. Asesmen kondisi psikologis anak menjadi langkah penting karena setiap anak memiliki tingkat trauma yang berbeda-beda. 

Kondisi psikologis anak sangat dipengaruhi oleh situasi sebelum bencana serta tingkat kematangan mental masing-masing.

Anak dengan kematangan psikologis yang lebih baik umumnya dapat pulih lebih cepat. Sebaliknya, anak yang belum matang secara psikologis berisiko mengalami trauma yang lebih mendalam dan membutuhkan pendampingan lebih intensif. Oleh karena itu, proses belajar di pengungsian sebaiknya tidak bersifat memaksa dan harus disesuaikan dengan kondisi emosional anak.

Pada fase pemulihan ini, Piprim juga menilai anak dapat mulai dikenalkan pada nilai-nilai ketahanan mental. Anak diajak belajar bersabar menghadapi bencana serta memahami bahwa peristiwa yang dialami dapat diambil hikmahnya. 

Pendekatan tersebut diharapkan dapat membantu anak membangun daya lenting dan mempercepat pemulihan psikologis secara bertahap.

Dengan memastikan pendidikan tetap berjalan di pengungsian, IDAI berharap hak-hak anak tetap terlindungi di tengah situasi darurat. 

Pendidikan yang disertai pendekatan kesehatan dan psikologis yang tepat dinilai mampu menjadi fondasi penting bagi proses pemulihan anak-anak terdampak bencana di Sumatra.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index